By: Ali Antoni*
Seorang Bapak Tua datang ke sebuah bank hendak meminjam uang, dengan alasan cucunya hendak masuk sekolah dan tak bisa membeli seragam. Pak Tua masuk ke dalam ruangan dengan tangan dan kaki gemetar. Bukan karena Dia sudah terlalu tua dan hampir menutup mata, namun yang Dia ingat; hanya penjajahlah yang dulu bisa memiliki ruangan besar dan gedung megah pada saat masa perjuangan dulu. Ketika merah putih belum bisa berkibar dengan mudah seperti sekarang.Masih dengan gugup dan terus gemetaran, Pak Tua menemui gadis cantik pegawai bank yang bersuara merdu atau menggoda, Pak Tua agak sulit membedakannya.
“Selamat pagi!” sapa gadis yang berkulit halus itu. Tidak seperti masa-masa pra proklamasi dulu. Hanya Lonte untuk bule-bule kumpeni yang kulitnya bagus nan halus. Namun Pak Tua yakin gadis itu pasti bukanlah seorang Lonte. Kumpeni sudah lama pergi dari negeri Majapahit yang besar dan kaya ini.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanya gadis yang matanya juga bagus itu.
“Anu… Emang Non benar-benar mau membantu saya? Saya memang perlu banyak bantuan Non. Non tinggal memilih saja.” Jawab Pak Tua sedikit ragu.
“Maksud saya bukan seperti itu Pak Tua. Tapi apa keperluan Pak Tua datang ke bank ini?”
“O… itu tho maksudnya? Anu Non… saya mau pinjam uang. Cucu saya mau masuk sekolah. Orang tuanya tak bisa membayar seragam.”
Gadis cantik terdiam sesaat. Matanya menatap curiga.
“Memangnya Bapak Tua punya jaminan apa?”
“Saya cuma punya harga diri Non!”
“Harga diri tidak bisa dijadikan jaminan Pak Tua!”
“Tapi dulu di jaman perjuangan, saya ini bekas pejuang Non. Meski tidak di catat oleh negara. Dan saya tak pernah memperkarakan itu pada Penguasa. Apakah itu tidak cukup sebagai bukti bahwa saya memiliki ketulusan dan keikhlasan dalam perjuangan Non?”
“Saya tidak tahu Bapak Tua ngomong apa! Tapi yang jelas keikhlasan dan ketulusan itu tak bisa dijadikan jaminan Pak Tua! Lagi pula perjuangan Bapak itu tinggal sejarah. Tak lebih dari masa lalu yang sudah terlewati dan tak perlu ditengok lagi.”
Pak Tua menjadi salah tingkah. Keringat mengucur deras di keningnya. Ada rasa marah dan malu yang hinggap di dadanya yang ringkih. Nafasnya terengah-engah. Tangannya terkepal. Matanya memerah. Membara.
“Kalau Pak Tua sudah tak ada keperluan, silahkan memberi kesempatan pada para pengantri lainnya yang sudah menunggu!”
“Masih ada satu lagi Non yang mungkin bisa saya jadikan jaminan, sebelum Non mengusir saya dari gedung yang tanahnya ini dulu bekas ruang dansa para penjajah.”
“Jaminannya berupa Apa Pak Tua?”
“Leher saya Non!”
“Hahahaha…. Pak tua ini ada-ada saja. Mana bisa leher dijadikan jaminan!”
“Meski cuma seratus ribu rupiah saja Non?”
“Meski cuma selembar uang seribu Pak Tua!”
Pak Tua terdiam agak lama. Sudah padam rasa marahnya.
“Kalau Pak Tua sudah tak ada keperluan, silahkan memberi kesempatan pada para pengantri lainnya yang sudah menunggu!”
Pak Tua pergi meninggalkan bank yang megah itu. Perasaan malu dan terhina mendekam di dadanya. Langkahnya menjadi payah tak bertenaga. Padam sudah api semangat 45.
Sesampai di rumah, cucunya menanti dengan cemas. Berharap malu pada teman-teman bisa dipendam.
“Bagaimana Kek. Apakah kakek bisa meminjam uang dari bank?”
Pak Tua diam saja. Dia tak mau cucunya kecewa.
“Apa Kakek berhasil meminjam uang dari bank? Kakek dulu seorang pejuang kan? Pasti kalau hanya seratus ribu, pihak bank akan meminjamkannya pada Kakek. Mereka pasti menghargai jasa Kakek di masa lalu! Iya kan Kek?”
Pak Tua masih terdiam. Si cucu memnggoyang-goyang badan sang Kakek yang terasa dingin. Pak Tua tetap tak bersuara. Sang cucu menjadi terkejut ketika dia tahu Kakeknya sudah tak lagi memiliki kepala.
Soboman, 2009.
* Penulis adalah penggiat Komunitas Pintu
No comments:
Post a Comment